
Pemberontakan di Aceh, tak lekang dari pemberontakan DI/TII. Aceh yang
awalnya begitu setia terhadap Republik Indonesia, tiba-tiba menjadi
begitu berang, ketika Tgk Muhammad Daoed Beureueh, mantan Gubernur
Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, merasa dikhianati oleh Presiden
Soekarno. Janji yang tak ditepati menjadi alasan utama Daoed Beureueh
memberontak.
Sejarawan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan Daoed
Beureueh semakin memuncak, ketika sebuah dokumen rahasia dari Jakarta
yang disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
melalui Jaksa Tingi Sunarjo yang membawa dokumen itu ke Medan. Ada pula
yang menyebutkan dokumen rahasia itu “warisan” dari kabinet Sukiman.
Isinya, Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh—ada juga yang
menyebut 190 tokoh—melalui sebuah operasi rahasia yang disebut sebagai
les hitam. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan bahwa Aceh
akan menggelar sebuah pemberontakan. Tapi sampai kini tak ada yang bisa
memastikan keberadaan dokumen tersebut.
Sejarawan Belanda lainnya, B J Boland, dalam bukunya “The Struggle of
Islam in Modern Indonesia”, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah
ada. Menurut Boland, desas-desus itu dihembuskan oleh politikus sayap
kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh. Namun secara
tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barang kali
sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa
mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke
gunung,” tulis Van Dijk. Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam
rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun
daftar itu.
Rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam
di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang
kuda-kuda. Teungku Daoed Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh
dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. “Les hitam adalah
bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah
itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daoed Beureueh uttuk
menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” tulis pelaku sejarah Aceh dan
menantu Daoed Beureueh, M Nur el Ibrahimy.

Setelah itu, sembilan tahun Daoed Beureueh memimpin sebuah gerakan
perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah
perlawanan Aceh paska-era kolonial dan memunculkan Daoed Beureueh,
tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah.
“Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada. Membela
Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daoed Beureueh merasa
dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari
1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir
yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet
sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi
Sumatera Utara.
Van Dijk bercerita. Dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah
Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan
Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Daoed Beureueh, yang saat itu
adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah
Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut.
“Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke
Medan tanpa dibuka atas perintah Daoed Beureueh,” tulis Van Dijk.
Selain itu, Aceh juga sudah lama merasa dipinggirkan penguasa Republik.
Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta
dalam pandangan Daoed Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik
parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus, yang
memungkinkan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam
tak kunjung dipenuhi Soekarno.
Dalam usahanya memberontak terhadap Jakarta, Daoed Beureuh menjalin
hubungan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII di Jawa Barat, yang lebih dulu
mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu
“membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah itu.
Van Dijk menungungkapkan, menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan
terungkap, Daoed Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin
al-Mujahid, pernah berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung pada 13
Maret 1953. Utusan Kartosoewirjo, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke
Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara
Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.
Kemarahan Daoed Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam
kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Daoed Beureueh—di
Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta. Orang-orang
Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh”.
Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama
Hindu.
Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Daoed Beureueh pada
September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh
dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,”
demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.
Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Soekarno lah yang
mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya
pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin.
Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific
Affairs pada 1963 mencatat betapa Soekarno tak berdaya disambut
poster-poster anti presiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta
agama,” begitu bunyi salah satu poster.
Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang punya latar belakang keislaman,
relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil
berunding dengan Daoed Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan
bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Soekarno, Hatta adalah orang yang
sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan
menerapkan otonomi khusus dan federalisme.
Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI.
Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada
Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan
apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak
terhindarkan di Aceh. Dan Daoed Beureueh berdiri dalam pusaran konflik
yang berkepanjangan.
Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daoed Beureueh adalah
lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan
di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad
Hamid— orang tua Farhan Hamid, politisi nasional asal Aceh--. Pada usia
33 tahun, Daoed mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh,
Sigli.
Daoed adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam
terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daoed Beureueh bisa
“menyihir” orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid. Tak hanya
memukau, Daoed Beureueh tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka
yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daoed sangat enteng
mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya
ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat
yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.
Karena karismanya itu, Daoed Beureueh dipercaya memimpin tentara
Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Daoed Beureueh juga menjadi
orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka
hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRl). Itulah
sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah formal, Wakil Presiden Muhammad
Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal
mayor tituler.
Tapi Daoed Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang
terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA—lembaga yang didirikannya pada
1939 terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah
Belanda. Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara
kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding
uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya
peristiwa perang cumbok.
Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di
antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang
membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini
bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat
statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan
menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan
panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta
ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya.
Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku
Daoed Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk.
Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA
ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan
ini dibantah M Nur El-Ibrahimy. Menurutnya, mereka berperang dengan
menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut
El-Ibrahimy, serangan kepada Daoed Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak
hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah
disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah
perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari
musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya
dalam Pergolakan di Aceh.
Pemberontakan Daoed Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI/TII
menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat
lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan
Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat
menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda,
yang diutus untuk membujuk Daoed Beureueh, ia menyatakan kesediaannya
untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah
dengan kalangan ulama, Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin
pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut.
Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru
untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di
Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung
pemerintah, Daoed Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam.
“Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daoed kecuali
penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Daoed beureueh meningal di tanah Aceh pada 1987. Nafasnya berhenti hanya
dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi
militer (DOM)—masa yang membuat luka di Tanah Reneong kembali terbuk